I saw its periscope in the tide;
its torpedo-seed seeking the soft side
of the island, the grey mud-bank.
And, where it touched, it seemed the land sank
with its tree exploding from water; the green
mangroves' fountainhead of leaves bursting, seen
like a mushroom-top of detritus and spray.
Today, in my boat, at the close end of the bay,
I saw its dark devastations; islet and spit
sunk in the flat high tide…
Nukilan puisi bertajuk “Mangrove” karya John Blight di atas adalah gambaran tersurat kecamuk perasaan yang terpendam tentang kondisi hutan bakau atau mangrove. Gambaran tersebut tentu juga dengan mudah bisa didapatkan di berbagai kawasan pesisir Indonesia.
Indonesia tercatat sebagai negara yang memiliki mangrove terluas di dunia (Hamilton & Casey, 2016). Namun, Indonesia juga menjadi penyumbang terbesar terhadap kehilangan dan kerusakan hutan mangrove dunia (Hamilton & Casey, 2016). Sungguh ironis.
Melalui hasil publikasi terbaru (Bryan-Brown et al., 2020) menunjukkan, Indonesia bersama Malaysia berapa pada tahap kehilangan dan fragmentasi hutan mangrove yang sangat tinggi. Pada tiga dekade terakhir, Indonesia telah kehilangan sekitar 1 juta ha mangrove (Ilman et al., 2016). Sekitar 60% hutan mangrove di pesisir timur Sumatera Utara telah hilang dan rusak dalam periode 1977-2006 (Onrizal, 2010) dan telah berkurangnya populasi ikan yang mengurangi pendapatan nelayan (Onrizal et al. 2009). Oleh karena itu, perlu upaya perbaikan pengelolaan mangrove di Indonesia termasuk dengan mengintegrasikan aspek ekologi, sosial dan ekonomi di dalam aktivitas restorasi mangrove (Onrizal, 2014).
Pada sisi lain, mangrove menjadi sumberdaya penopang kehidupan masyarakat pesisir. Mangrove yang baik akan mendukung kehidupan masyarakat pesisir dan sebaliknya. Oleh karena itu, hutan mangrove yang rusak perlu dipulihkan melalui kegiatan restorasi mangrove dengan pelibatan masyarakat sekitar. Hutan mangrove di wilayah Kampung Nelayan, Kecamatan Medan Belawan dan sekitarnya, adalah wilayah yang menjadi salah satu kawasan hutan bakau yang mengalami kerusakan.
Universitas Sumatera Utara (USU) melalui dosen-dosennya yang memerhatikan persoalan ini, berupaya memberikan solusi nyata melalui kegiatan pengabdian masyarakat dengan menggandeng Lembaga Pengabdian Pada Masyarakat (LPPM) USU. Salah satunya dilakukan para dosen Universitas Sumatera Utara melalui Program Desa Binaan yang dipimpin oleh Dr Achmad Siddik Thoha, S Hut, M Si, sebagai koordinator tim, melalui kegiatan restorasi mangrove bersama masyarakat Kampung Nelayan. Turut sebagai anggota dalam tim tersebut Dr Alfan Gunawan Ahmad, S Hut, M Si dan Dr Agus Purwoko, S Hut, M Si. Kegiatan pengabdian restorasi mangrobe Desa Nelayan Seberang ini dilakukan pada Bulan Juli – Nopember 2020.
Sebanyak 5.000 bibit mangrove ditanam selama proses kegiatan yang merupakan hasil dari rangkaian kegiatan penyiapan tenaga terampil dalam persemaian, penanaman dan pemeliharaan mangrove, yang mencakup pelatihan di kelas dan praktik langsung di lapangan. Dari kegiatan yang dilakukan selama di Kampung Nelayan, tim pengabdian menilai, secara umum masyarakat setempat sangat memahami peran hutan mangrove dan menyetujui bahwa pelestarian mangrove harus dikerjakan secara bersama.
Areal penanaman kembali hutan mangrove terletak di lokasi yang ditetapkan sebagai kawasan ekowisata mangrove yang menjadi salah satu atraksi dalam paket ekowisata. Kegiatan penanaman dan pemeliharaan tanaman dilakukan oleh mitra desa binaan. Mitra juga memiliki persemaian yang terus dikelola bersama untuk menunjang kegiatan restorasi dalam hal penyiapan bibit yang diharapkan mampu membantu meningkatkan pendapatan masyarakat.
Kontributor: Renny Julia Harahap
Sumber: usu.ac.id